Sejarah perpustakaan Dan kepustakawanan

Perpustakaan dan kepustakawanan


Mari menengok sejenak ke sejarah, apalagi si Bung pernah bilang dengan lantang, “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah!” atau disingkat JAS MERAH. Jika Anda berpendidikan ilmu perpustakaan dan berniat menjadi pustakawan, tentu patut juga menengok ke muasal sekolah dan ilmu Anda. Di Indonesia, sekolah perpustakaan pertama kali nongol di Jakarta (sekarang menjadi Jurusan Ilmu Perpustakaan di Universitas Indonesia), lalu di Bandung (sekarang menjadi Jurusan Ilmu Perpustakaan di Universitas Padjadjaran). Kedua sekolah ini pada awalnya didirikan oleh sekelompok orang yang mendapat pendidikan “barat”, sebagaian besarnya bersekolah di Amerika Serikat dan Inggris.

Seperti apa, dan bagaimana, kedua negara adikuasa itu melahirkan Ilmu Perpustakaan?

Sedikit flashback.. Di Amerika Serikat, tahun 1850an (kurang lebih 100 tahun sebelum Indonesia merdeka) muncul tuntutan pembentukan “national union catalog” yang akan menghimpun katalog berbagai perpustakaan, sementara di saat sama pustakawan Inggris sedang asyik dengan “public libraries movement”. Di tahun-tahun itu pula para pustakawan menyadari bahwa mereka sudah terbiasa mengelola buku, namun kurang siap menghadapi pertumbuhan pesat jurnal ilmiah dan belum punya prosedur maupun alat simpan dan temu-kembalinya. Seorang pustakawan kreatif bernama William Frederick Poole dari Yale College pada tahun 1848 merancang “collective index” untuk memudahkan akses ke artikel-artikel jurnal. Dua puluh delapan tahun kemudian, di konferensi American Library Association (ALA), Poole melaporkan kesulitan yang dihadapinya dan meminta ALA membantu.

Namun profesi pustakawan waktu itu belum sepakat membantu Poole, bukan saja karena waktu itu sumberdaya manajemen masih sangat terbatas, tetapi juga karena para pustakawan belum yakin akan kegunaan “micro-documentation” di tingkatan artikel dan masih lebih senang dengan “macro-documentation” di tingkatan “publication unit”. Maaf, kalau Anda pustakawan dan tidak mengerti istilah-istilah ini, mungkin kita perlu bertanya: Di mana sekolah Anda?

Oh ya.. American Library Association (ALA) berdiri pada tahun 1876, dan setahun kemudian di Inggris berdiri Library Association (LA). Sebelum dua organisasi ini berdiri, para pustakawan hanya dihargai dalam hal keterampilan “housekeeping”-nya, dan kepala perpustakaan biasanya melakukan pelatihan atau pemagangan untuk pegawai-pegawainya. Belum ada sekolah-sekolah perpustakaan.

Melvil Dewey, yang terlibat dalam kelahiran ALA, juga menulis karyanya yang terkenal Dewey Decimal Classification (DDC) pada tahun 1876. Dia pula yang membuat sebuah proposal untuk membentuk “School of Library Economy”. Setelah melalui perdebatan di kalangan pustakawan, pada tahun 1887 berdirilah sekolah itu sebagai bagian dari Columbia College. Pada akhir abad 19 itu, pustakawan Inggris juga menggiatkan Library Association mereka dan menerbitkan Library Journal yang waktu itu bermoto, “devoted to library economy and bibliography”. Kita waktu itu belum merdeka, dan Pemerintah Kolonial Belanda lebih tertarik melanjutkan pengembangan Kebun Raya daripada membangun perpustakaan untuk para inlander.

Sementara itu, pada masa yang sama, perhatian orang sedang tertuju pula pada perkembangan di Brussels, Belgia; pada dua orang ahli hukum bernama Paul Otlet dan Henri La Fontaine yang menggunakan kata “dokumentasi” untuk sebuah “pendekatan baru” dalam mengelola akses ke segala sumber pengetahuan. Kisahnya bermula pada tahun 1892 ketika Paul Otlet bertemu Henri La Fontaine yang waktu itu sedang ditugaskan mengelola bahan-bahan dokumenter ilmu sosial di Société des Études Sociales et Politiques di Brussel. Waktu itu, jumlah jurnal ilmiah yang terhimpun mencapai 10.000 judul. Pada saat yang sama, para pustakawan sedang sibuk membuat “Répertoire Bibliographique Universel” yang akan mempunyai rujukan “seluruh semesta subjek”.

Aktivitas “documentation” pun menjadi resmi, dan mendorong kelahiran International Federation for Documentation and Information (FID). Kelak gerakan dokumentasi ini pula yang melahirkan profesi pustakawan khusus. Jauh hari kemudian, lebih dari seratus tahun kemudian, di Indonesia juga lahir Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah sebagai bagian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Kembali ke Amerika Serikat… Sekolah-sekolah perpustakaan bermunculan di Negeri Paman Sam itu. Melihat perkembangan yang menggembirakan di bekas koloninya, Inggris pun tergugah. Pada tahun 1919 berdirilah School of Library, Archive, and Information Studies (SLAIS) di University College, University of London. Di luar aksis AS-Inggris, pada tahun 1910 berdiri pula di Brazil sekolah pertama di bawah naungan Bibliotheca Nacional do Rio de Janeiro, meniru model French École des Chartes di Paris. Lalu pada tahun 1929, seorang pustakawan dari Mackenzie Institute library di São Paulo, Adelpha Silva Rodrigues, mendapat beasiswa dari American Association of University Women untuk belajar kepustakawanan di AS. Sebagai gantinya, AS mengirim nona Dorothy Muriel Geddes, yang kemudian digantikan oleh nyonya Arthur E. Gropp, yang membuka sekolah perpustakaan di Mackenzie.

Perkembangan paling menentukan terjadi pada tahun 1926. Saat itu berdirilah Graduate Library School (GLS) di bawah naungan University of Chicago. Sponsor utama sekolah ini adalah Carnegie Foundation. Sekolah ini secara khusus ingin mengembangkan penelitian ilmiah dan membangun pondasi teori bagi kepustakawanan. Saat inilah dapat dikatakan telah lahir ide tentang Ilmu Perpustakaan. Salah satu pendukung utama peng-”imiah”-an kepustakawanan ini adalah seorang filsuf bernama John Dewey (jangan disamakan dengan Melvil Dewey). Karyanya, “The sources of a science of education” (Dewey, 1929) menjadi bacaan wajib di GLS dan tulisannya ini kemudian menjadi dasar pertama dari Ilmu Perpustakaan. Sesuai pikiran Dewey, tiga pokok ilmu yang menopang Ilmu Perpustakaan adalah sosiologi, psikologi, dan sejarah. Untuk mendukung kegiatan ilmiah dan penelitiannya, GLS menerbitkan Library Quarterly.

Perkembangan orientasi sekolah ini kemudian juga dipengaruhi oleh tulisan Pierce Butler, An Introductory to Library Science yang terbit tahun 1933. Buku ini menyatakan bahwa perpustakaan mengurusi pengetahuan ilmiah dan merupakan aktivitas institusi sosial yang rumit. Untuk mempelajari hal ini, maka ilmu perpustakaan harus diisi dan dilengkapi dengan metode statistik, psikologi membaca, sejarah buku, sejarah perpustakaan sebagai institusi, sejarah pengetahuan, dan sejarah bibliografi.

Pada tahun 1938 sampai 1940 seorang pustakawan bernama Jesse Shera mendaftar di GLS untuk mengambil program doktoral. Sambil kuliah, dia juga sempat bekerja di ibukota AS di sebuah proyek militer yang mengembangkan automatisasi perpustakaan dan manajemen. Pada tahun 1944 Shera meraih gelar doktor dengan disertasi tentang gerakan perpustakaan umum di New England.

Tiga puluh tahun setelah meraih gelar doktor, tulisan-tulisan Jesse Shera mengkristal dan mengarah ke pembentukan pondasi ilmu perpustakaan yang berciri epistemologi sosial. Secara ringkas, Jesse Shera mengatakan bahwa Ilmu Perpustakaan ditopang oleh teori-teori yang berkaitan dengan:

  1. Masalah kognisi, khususnya untuk menjawab bagaimana manusia mengetahui sesuatu.
  2. Masalah kognisi sosial untuk menjawab bagaimana sebuah masyarakat mengetahui sesuatu, dan apa saja karakteristik sosiopsikologis yang memungkinkan pengetahuan pribadi berkembang menjadi pengetahuan bersama,
  3. Masalah sejarah dan filsafat pengetahuan sepanjang masa, dan kaitannya dengan variasi budaya di berbagai belahan dunia.
  4. Masalah mekanisme bibliografis dan bagaimana sistem berselaras dengan dunia nyata di sekeliling perpustakaan khususnya yang berkaitan dengan komunikasi atau pertukaran pengetahuan.

Pikiran-pikiran Dewey, Butler, dan Shera itulah yang kemudian memicu berbagai upaya menegaskan keilmuan yang melandasi Kepustakawanan. Sayang sekali, ketika para pendiri sekolah-sekolah perpustakaan di Indonesia pulang ke tanah air dari belajar di “barat”, yang mereka bawa kebanyakan adalah landasan teknis penyelenggaraan perpustakaan. Di awal-awal pendidikan perpustakaan di Jakarta dan di Bandung, kegiatan penelitian dan pengkajian teori terdengar lamat-lamat saja.

Komentar